Sabtu, 04 Maret 2017

MAKALAH MANAJEMEN PESANTREN



MAKALAH MANAJEMEN PESANTREN
KONSEP DASAR MANAJEMEN PESANTREN
Di ajukan sebagai salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Manajemen Pesantren, dosen mata kuliah Khalid Ramdhani, M.Pd.I.

Oleh:


Adam Yulianto           : 1510631120003
Hikma Insanita            : 1510631120033
Jajat Sudrajat              : 1510631120038
Melinda                       : 1510631120043




FAKULTAS AGAMA ISLAM
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
KARAWANG, INDONESIA
2016/2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas selesainya makalah yang berjudul “Konsep Dasar Manajemen Pesantren”. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusuna makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.      Bapak DR. H. Amirudin, M.Pd.I. Selaku dekan Fakultas Agama Islam
2.      Bapak DR. H. Masykur H. Mansyur Drs, MM. Selaku ketua kaprodi jurusan Manajemen Pendidikan Islam
3.      Bapak Khalid Ramdhani, M.Pd.I. Selaku dosen pembimbing mata kuliah yang memberikan saran, ide dalam memberikan masukan kepada penulis dalam pembuatan makalah
4.      Teman-teman dan semua pihak yang telah terlibat dan memberikan bantuan dalam bentuk moril maupun materil dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.



Karawang, 15 Februari 2017





                                                                                                Penyusun                            
                                                                                               


Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 1
1.3 Tujuan dan Manfaat.......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manajemen Pesantren...................................................... 3
2.2 Sejarah Berdiri Pondok Pesantren..................................................... 6
2.3 Perkembangan Pondok Pesantren..................................................... 11
2.4 Elemen-elemen Pondok Pesantren.................................................... 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA

 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era global ini terasa sekali pengaruhnya dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan, sosial, dan budaya, termasuk dalam pendidikan pesantren.
Dalam rangka menghadapi tuntutan masyarakat lembaga pendidikan masyarakat termasuk pondok pesantren haruslah bersifat fungsional. Sebab lembaga pendidikan sebagai salah satu wadah dalam masyarakat bisa digunakan sebagai pintu gerbang dalam menghadapi tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mengalami perubahan.
Lembaga pesantren perlu mengadakan perubahan secara terus menerus seiring dengan perkembangannya tuntutan-tuntutan yang ada dalam masyarakat. Pengembangan Manajemen Pesantren merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas atau mutu pesantren. Manajemen mengawal dan memberikan arahan pada proses berjalannya sebuah lembaga pesantren dapat terpantau. Tidak berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah formal, pendidikan pesantren juga membutuhkan manajemen untuk mengembangkan atau memajukan sebuah pesantren.
Manajemen merupakan hal yang penting dalam pesantren karena untuk berjalan dengan optimalnya sebuah pesantren, berkembangnya pesantren, dan untuk kemajuan pesantren tersebut. Pesantren yang sistem manajemennya rendah atau bahkan tidak baik, bisa mengakibatkan mengurangnya daya guna sebuah pesantren.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan Manajemen Pesantren?
b.      Bagaimana Sejarah berdirinya Pondok Pesantren?
c.       Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren?
d.      Apa saja Elemen-elemen Pondok Pesantren


1.3  Tujuan dan Manfaat
a.       Untuk mengetahui pengertian dari Manajemen Pesantren
b.      Untuk mengetahui Sejarah berdirinya Pondok Pesantren
c.       Untuk mengetahui Perkembangan Pondok Pesantren
d.      Untuk mengetahui Elemen-elemen Pondok Pesantren
Manfaat makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Konsep Dasar Manajemen Pesantren, khususnya untuk kelas MPI  IV A.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manajemen Pesantren
a. Pengertian Manajemen
Kata manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu management yang dikembangan dari kata “to manage”, yang artinya mengatur atau mengelola.
Mary Parker Follet, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,  pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.
George R. Terry, mengatakan bahwa manajemen merupakan proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan : perencanaan,  pengorganisasian, menggerkan dan pengawasan yang dialkukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia  serta sumber-sumber lain.
b. Pengertian Pondok Pesantren
Secara etimologi, pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ yang berarti tempat tinggal santri. Sedangkan ensiklopedi Islam memberikan gambaran yang berbeda, yakni bahwa pesantren itu berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji atau dari bahasa India “shastri” dan kata “shastra” yang berarti buku-buku kecil, buku-buku agama atau ilmu pengetahuan. Secara terminologi pesantren merupakan sebuah pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar (Ahamad Muthohar AR, 2007:12).
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”Fundũq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu.
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.
c.Pengertian Manajemen Pesantren
Hamzah (1994 : 32) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Pendidikan Pesantren adalah aktivitas memadukan sumber-sumber Pendidikan Pesantren agar terpusat dalam usaha untuk mencapai tujuan Pendidikan Pesantren yang telah ditentukan sebelum dengan kata lain manajemen Pendidikan merupakan mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekat adalah suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.”. Yang disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan yang berhasil mencapai sasaran dengan sempurna cepat tepat dan selamat. Sedangkan yang “tak efektif” adalah pengelolaan yang tak berhasil memenuhi tujuan karena ada mis-manajemen maka manajemen yang tak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuan tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga waktu maupun biaya.
Salah satu bagian terpenting dalam manajemen pesantren adalah berkaitan denggan pengelolaan keuanggan pesantren. Dalam pengelolaan keuangan akan menimbulkan permasalahan yang serius apabila pengelolaanya tidak baik. Pengelolaan keuanggan pesantren yang baik sebenarnya merupakan upaya melindungi personil pengelolaan pesantren (kyai, pengasuh, ustadz, atau pengelola pesantren lainya) dari pandangan yang kurang baik dari luar pesantren. Selama ini banyak pesantren yang tidak memisahkan antara harta kekayaan pesantren dengan harta milik individu, walaupun disadari bahwa pembiayaan pesantren justru lebih banyak bersumber dari kekayaan individu. Namun dalam rangka pelaksanaan manajemen yang baik sebaiknya diadakan pemilahan antara harta kekayaaan pesantren dengan harta milik individu, agar kelemahan dan kekurangan pesantren dapat diketahui secara transparan oleh pihak-pihak lain, termasuk orang tua santri.
Pengertian pengelolaan keuangan sendiri adalah penggurusan dan pertanggung jawaban suatu lembaga terhadap penyandang dana baik individual maupun lembaga. Dalam penyusunan anggaran memuat pembagian penerimaan dan pengeluaran anggaran rutin dan anggaran pembanggunan serta anggaran incidental jika perlu.
Berkaitan denggan penggelolaan keuanggan ada hal-hal yang perlu di perhatikan oleh bendaharawan pesantren diantaranya:
a)        Pada setiap akhir tahun anggaran bendaharawan harus membuat laporan keunggan kepada komite pesantren untuk di cocokan dengan RAPBP.
b)        Laporan keuanggan harus di lampiri bukti-bukti penggeluaran yang ada, termasuk bukti penyetoran pajak (PPN dan PPh) bila ada.
c)        Kwitansi atau bukti-bukti pembelian atau bukti penerimaan honorarium atau bantuan atau bukti penggeluaran yang lain yang sah.
d)       Neraca keuanggan juga harus di tunjukan untuk di periksa oleh tim bertanggung jawaban keuanggan dari komite pesantren.





d. Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren, meliputi:
1.    Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren
Pada awalnya adalah hanya pengajaran yang simpel tidak ada kurikulum tidak seperti sekarang ini. Sebenarnya pembelajaran yang diberikan dalam pondok pesantren sudah menggunakan kurikulum tertentu yang lama yaitu sistem pengajaran tuntas kitab, dalam hal ini kyai bebas untuk membacakan kitabnya.
2.      Sistem Pengajaran
Sistem pengajaran dapat diartikan sebagai cara uyang diperguanakan untuk menyampaikan tujuan. Pondok pesantren secara agak seragam menerapkan sistem pengajaran yang sering kita kenal yaitu: sorogan, bandungan, hafalan dan masih banyak lainnya. Akan tetapi konsep keilmuan lebih menekankan pada rasionalitas seperti yang menjadi dasar pendidikan modern.
3.      Sistem Pembiayaan
Pondok pesantren sebagai lembaga non formal juga sebagai lembaga sosial keagamaan. Dan perjalanannya, pembiayaan dalam bidang pendidikan pesantren bisa didapat dari imbal swadya pemerintah, yaitu Depag, Link Depag, Instansi Daerah maupun dari lainnya. Karena kepedulian pesantren ini dilandasi dengan keikutansertaan pemerintah dalam memajukan pondok pesantren dengan karakternya yang khas.

2.2 Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren
·         Permulaan Berdiri
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, yang setidaknya memiliki lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama.
Dalam menentukan kapan pertama kalinya pesantren berdiri di Indonesia, terlebih dahulu perlu melacak kapan pertama kalinya Islam masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat berbagai pendapat mengenai kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat semenjak abad ketujuh, namun ada juga yang berpendapat semenjak abad kesebelas. Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya Islam di Indonesia, namun terjadinya kontak yang lebih intens antara budaya Hindu-Budha dan Islam dimulai sekitar abad ketiga belas ketika terjadi kontak perdagangan antara kerajaan Hindu jawa dengan Kerajaan Islam di Timur Tengah dan India. Dan penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa tidak terlepas dari peran wali songo yang dengan gigih memperjuangkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam.
Berdirinya Pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan Asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia. Pada masa Islam perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.
Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.
Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan dengan perannya yang sangat dominan. Wali Songo melakukan satu proses yang tak berujung, gradual dan berhasil menciptakan satu tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.
Pendekaan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup saleh dengan mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal  merupakan ciri utama masyarakat pesantren. Watak inilah yang dinyatakan sebagai faktor dominan bagi penyebaran Islam di Indonesia. Selain itu ciri yang paling menonjol pada pesantren tahap awal adalah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri lewat-lewat kitab-kitab klasik. Persoalan asal usul pesantren secara historis lebih tepat jika dipandang sebagai akibat akulturasi dua tradisi besar Islam dan Hindu-Budha yang saling berinteraksi dan saling memperngaruhi satu sama lain dari pada menerima warisan tradisi yang memposisikan tradisi Islam sebagai tradisi yang pasif. Artinya, pandangan hidup dan pemikiran keagamaan kalangan pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for granted kebudayaan Hindu-Budha.
·         Pesantren pada Masa Penjajahan
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah kolonial mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Sebagian besar sekolah kolonial diarahkan pada pembentukan masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian Bangsa Indonesia tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah.
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.
Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan pemerintah Belanda diakhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun 1905 mengenai pengawasan terhadap peguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guu yang mengajar harus mendapatkan izin pemerintah setempat.
Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat modern yang mulai menjamah sebagian masyarakat Indonesia, pesantren pun tampaknya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif, meskipun ruang geraknya senantiasa diawasi dan dibatasi. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam pendidikan mulai masuk ke Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam lainnya.
Pembaharuan ini menyebabkan sistem modern klasikal mulai masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum dikenal. Metode halaqah berubah menjadi sistem klasikal, dengan mulai menggunakan kursi, meja dan mengajarkan pelajaran umum. Sementara itu beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah sebagaimana yang diterapkan pada sekolah umum.
·         Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pesantren senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah kemerdekaan, pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.
Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh karena itu harus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren adalah sebagai upaya memberikan bekal tambahan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren dengan potensi yang dimilikinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada: Pertama, peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga sosial pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren terarah. Ketiga, menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren dalam bidang prasarana sosial dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari segala kritik dan kekurangannya.
2.3 Perkembangan Pondok Pesantren
Satu abad setelah masa Walisongo, abad 17, pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613-1645. Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa, yang juga terkenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo ing Tanah Jawi, yang berarti Khalifatullah pemimpin dan penegak agama di tanah Jawa. Dia memproklamirkan kalender Islam di Jawa. Dengan system kalender baru ini, nama-nama bulan dan hari Hijriyyah seperti Muharram dan Ahad dengan mudah menjadi ucapan sehari-hari lisan Jawa.
Pada tahun 1641, Sultan Agung memperoleh gelar baru “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani” dari Syarrif Mekkah setelah Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah untuk memohon anugrah title tersebut tahun 1639. Agaknya Mekkah telah lama memainkan peran penting dalam memperkuat legitimasi politik, keagamaan, serta orientasi pendidikan dunia Islam. Sultan Agung menawarkan tanah pendidikan bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300 pesantren.
Pada masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren, dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jama’ah haji. Selain itu, Belanda juga membatasi kontak atau hubungan orang Islam Indonesia dengan negara-negara Islam yang lain. Hal-hal ini akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat.
Sebagai respon atas penindasan Belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di Indonesia, yaitu pemberontakan kaum Paderi di Sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol, pemberontakan Diponegoro di Jawa, pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yang dilakukan Belanda, pemberontakan di Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro.
Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yang memerintahkan setiap orang pada pukul tujuh pagi untuk menghadap arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yang dianggap keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap dan dipenjara delapan bulan.
Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. K.H. Hasyim Asy’ari pada waktu itu mengeluarkan fatwa, wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif  oleh umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya dengan Bung Tomo sebagai komando, dengan semboyan “Allahhu Akbar!! Merdeka atau mati” tidak gentar menghadapi Inggris dengan segala persenjataanya pada tanggal 10 November. Diperkirakan sepuluh ribu orang tewas pada waktu itu. Namun hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.
 Setelah perang kemerdekaan, pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje. Akibatnya pengaruh pesantren pun mulai menurun, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besar yang mampu bertahan. Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya. Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu saja dan disamping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi orang-orang bersekolah di sekolah tersebut.
Pada masa Soekarno pula, pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak sekali pertikaian di tingkat bawah yang melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada puncaknya setelah peristiwa G30S/PKI, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen yang menentang komunisme memberangus habis komunisme di Indonesia. Diperkirakan  lima ratus ribu nyawa komunis melayang akibat peristiwa ini. Peristiwa ini bisa dibilang merupakan peristiwa paling berdarah di republik ini, namun hasilnya komunisme akhirnya lenyap dari Indonesia.
Biarpun begitu, dengan jasa yang demikian besarnya, pemerintahan Soeharto seolah tidak mengakui jasa pesantren. Soeharto masih meneruskan lakon pendahulunya yang tidak mengakui pendidikan ala pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dan tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya, hal ini memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang Islam dari struktur pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.
 Namun demikian, pesantren pada kedua orde tersebut tetap mampu mencetak orang-orang hebat yang menjadi orang-orang penting di negara kita seperti, K.H. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, K.H. Saifuddin Zuhri, dl
Pada dekade pertama abad 20 ditandai dengan munculnya “anak pesantren” yang berupa lembaga pendidikan madrasah. Lembaga ini tumbuh menjamur pada dekade pertama dan kedua dalam rangka merespons sistem klasikal yang dilancarkan pemerintah Belanda sebelumnya. Meskipun ada beberapa perbedaan antara pesantren dan madrasah, tapi hubungan historis, kultural, moral, ideologis antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat  keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001. Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Data yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak.
Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspons oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar. Secara eskplisit, untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah. Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional.

·         Analisis Terhadap Perkembangan Pesantren
Setelah kita mengetahui bagaimana sejarah panjang berdiri serta perkembangan pondok pesantren, kita masih perlu menganalisa agar kita mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai seluk beluk pondok pesantren. Dari beberapa versi pendapat, kita dapat mengikuti atau mendukung versi pendapat yang terkuat. Bahwasanya Walisongo yang berperan sangat besar bagi berkembangnya pondok pesantren. Hambatan pasti dilalui oleh ke-9 para Wali tersebut. Tetapi dengan semangat dakwah yang mereka tanam dalam benak mereka, kita dapat melihat buah dari semangat mereka. Sultan Agung yang juga berperan penting bagi perkembangan pondok pesantren harus kita akui jasanya. Berkat beliau pula, pondok pesantren dapat menyebar dengan luas.
Pada masa penjajahan, pondok pesantren mengalami masa keterpurukannya. Dimana ruang geraknya untuk berkembang dan menjalankan segala aktivitasnya dengan maksimal terbelenggu. Tetapi kita perlu mengapresiasi akan keberanian pihak-pihak pondok pesantren, khususnya para santri. Dengan berbagai pergolakan-pergolakan yang dibentuk, dengan tujuan untuk mengembalikan hak-hak rakyat dan untuk menghapus penjajahan, kita tidak boleh begitu saja melupakannya. Kita bisa lihat bahwa bagaimana pondok pesantren saat ini dengan sesuka hati melakukan berbagai aktivitas pesantren.
Di era reformasi hingga sekarang, kita juga harus mengapresiasi kinerja pemerintah, bahwasannya pemerintah telah mendukung sepenuhnya bagi pendidikan pesantren di Indonesia. Dimana ruang gerak pondok pesantren tidak dibatasi, dan bahkan telah berkembang menjadi pondok pesantren yang modern, dengan memberikan porsi yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.




2.4 Elemen-elemen Pondok Pesantren
Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai, santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning.
a.       Kyai
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masyrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.
Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban.
Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan- persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.


b.      Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikansur audi daerah minangkabau.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menari santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.
Sistem pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang . meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.
c.       Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimana pun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama- pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.

d.      Santri
Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri:
1.       Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2.      Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, Yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat diri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
e. Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab $an tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut.  Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai.













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekat adalah suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.”. Yang disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan yang berhasil mencapai sasaran dengan sempurna cepat tepat dan selamat. Sedangkan yang “tak efektif” adalah pengelolaan yang tak berhasil memenuhi tujuan karena ada mis-manajemen maka manajemen yang tak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuan tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga waktu maupun biaya.














Daftar Pustaka

·         Haedari, Amin dkk. 2004. Masa Depan Pesantren. Jakarta : IRD PRESS.
·         Amin Haedari. 2005. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas. Jakarta : IRD Press.
·         Manullang, M. 1996. Dasar – dasar Manajemen. Jakarta : Ghalia Indonesia.
·         YAPPI, MU. 2008.  Manajemen Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta: Media Nusantara.


 


1 komentar: